Senin, 16 Mei 2011

Belajar Ekspresi


“Selamat makan, Kak,” ucap Ajeng saat kami telah menerima hidangan roti bakar.
Dengan nerocos setelah membaca doa makan, aku langsung meyantap roti bakar ini. Tapi berbeda dengan Ajeng. Dia masih sempat berkata begitu.
Aku akui, di keluarganya memang sangat kental nuansa kesopanannya. Bahkan Ibu aja kalau nyuruh Angga atau Ajeng melakukan sesuatu, pasti pakai kata “punten” dulu. Bereda sekali dengan nuansa di rumahku. Aku memang orang  yang tak berekspresi. Jujur, selama 20 tahun lebih ini, aku belum pernah sekalipun meminta maaf ataupun berterima kasih pada ibuku. Ntah atau karena kurang didikan atau aku yang memang tak tahu diri. Tapi ya itulah. Kalau aku bersalah, biasanya aku meminta maaf lewat perbuatan. Misalnya menyapu ruang tamu yang biasanya jarang kusapu, mencuci baju yang hampir tak pernah kucuci. Dengan begitu, ibuku tau kalau aku menyesali perbuatanku dan aku meminta maaf. Kalau lagi dapat sesuatu dan seharusnya berterima kasih, aku biasanya menambah kerjaanku membantu ibu. Jadi kalau aku sudah melakukan itu semua, buat apa pula aku berucap terima kasih dan meminta maaf. Toh banyak kasus manis di mulut saja. Aku tak suka itu.
Berbeda dengan Ibu. Kalau dengan orang lain biasanya aku mudah untuk meminta maaf atau berterima kasih. Ntahlah mengapa ini terjadi. Aku merasa bahwa, semakin dekat hubungan batinku dengan seseorang, maka tak perlu lah mengatakan ekspresi. Toh dia pasi tau. Tapi kalau kita belum kenal dengan seseorang, wajib itu kita menyampaikan ucapan-ucapan itu dengan lisan karena dia belum tau siapa kita. Bisa jadi dapet musuh sebelum punya teman.
Kulahap roti bakar rasa susu, keju, dan coklat ini. Yummi sekali. Karena memang baru sekarang ini aku datang ke tempat ini setelah seringkali teman-temanku bercerita tentang kelezatan roti bakar di tempat ini. Akhirnya kesampaian juga hajatku.
“Mau nyoba yang ini, Kak?” Anak gadis berumuran 17 tahun itu bertanya padaku. Menawarkan roti bakar rasa telur kornetnya. Wauw, baik sekali dia. Aku saja tak berpikiran sampai situ.
“Oh iya, ya.” Lalu kucoba roti bakarnya dan balik menawarkan roti bakarku padanya.
Hm.. aku tahu salah satu penyebab krisis ekspresiku adalah karena aku tak punya saudara kandung! Ya, karena itu. Mana tahu aku arti berbagi dengan orang lain jika di rumah pun aku memiliki semuanya sendirian. Paling dekat ya ama kucing. Jadi yang kubagi juga tulang ayam ataupun tulang ikan. Dan ternyata dampaknya sampai sekarang adalah aku selalu friendly kalau bertemu kucing-kucing di mana pun. Ingin bercerita dan berbagi dengan mereka. Ya karena memang di rumah aku selalu dengan kucing. Tidur pun dengan mereka –karena kucingku lebih dari satu-.
Selesai makan, kami pulang. Sebelum itu aku membayar di kasir. Awalnya aku bayari juga makannya. Tapi Ajeng tak mau. Ibu malah marah saat tau aku membayari Ajeng roti bakar itu.
“Kalo belum kerja, jangan sok-sok mentraktir orang. Ntar aja kalau udah kerja,” ujar Ibu. hm.. benar juga ya. Jangan sok nge-bossy kalo duit aja masih bergantung pada orang.
Malam tadi, aku mengajarinya kimia. Seperti biasanya sih. Seraya bermain dengan Atha. Thanks for my new family..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar